Iklan Baris Tetap Optimis

[IMG:somm-8.jpeg]

Di hari kedua workshop School of Media Management (SoMM) Batch #15 di Jakarta, Kamis (16/3/2016), Atok Risaptoko dan Hilman dari Tim Iklan Harian Kompas berbagi pandangan tentang Masa Depan Iklan Baris. Menurut Hilman, salah satu yang terkena dampak digitalisasi adalah iklan baris. Di Kompas sendiri iklan baris tahun 2015 turun 17 persen dibanding tahun 2014. Ini seolah makin memperkuat senjakala media cetak yang disuarakan oleh Bre Redana akhir tahun lalu.

Senjakala media cetak menurut Hilman merupakan isu industri yang harus dicari solusinya bersama-sama. Kompas sendiri hingga kini belum menemukan satu formula ampuh dan paten untuk mengatasi laju senjakala media cetak. “Makanya ini memotivasi kami untuk sharing dalam forum ini, agar kami juga bisa mendengar insight dari teman-teman,” ujarnya.

Hilman optimis masa depan iklan baris di media cetak masih cukup baik. Apalagi jika memperhatikan tren dunia, seperti toko online Amazon dan Alibaba yang membuka toko offline. Banyak yang bertanya apa yang sesungguhnya mereka cari. Salah satu alasannya ternyata internet tidak bisa menawarkan semua solusi. “Experience tidak bisa didapatkan di internet. Inilah yang jadi dasar pijakan optimisme kami terhadap iklan baris di media cetak,” katanya.

 

Belajar dari Detik.com

Usai makan siang, Head of Business Detik.com Hugo Diba, meyempurnakan materi-materi yang didapatkan selama dua hari dengan berbagi pengalaman Meraih Pendapatan dari Kanal Digital. Dengan penuh percaya diri Hugo mengatakan, 99 persen pendapatan Detik.com berasal dari iklan. Karena itu tepat jika media fokus menjual iklan mereka.

Selama ini, media digital kerap menganggap bahwa page view menjadi pijakan revenue. Makin banyak jumlah page view makin tinggi revenue-nya. Tak heran jika banyak portal yang melakukan berbagai cara demi menaikkan page view. Tapi kini era sudah berubah. “Dulu bisa, tapi tahun 2016 Anda punya page view 100 juta per hari belum tentu revenue mengikuti,” katanya.

Menurut Hugo, kini pemasang iklan makin cerdas memilih media. Mereka ingin membayar berdasarkan performance bukan traffict. “Yang penting buat media sekarang, bagaimana membuat pembaca tiggal lebih lama di halaman kita. Dengan page views yang sedikit pun kalau dia stay di halaman lebih lama, nanti kinerja iklannya juga akan lebih bagus, efektifitasnya, dan engagment time-nya lebih tinggi,” jelasnya.

Karena itu, Detik.com kini punya formula baru. Revenue berhubungan dengan tiga hal yaitu audiens (jumlah pembca), traffict, dan engagement. Tiga hal ini mutlak tidak bisa salah satunya saja. Untuk meraihnya butuh totalitas semua tim, bisnis maupun redaksi.

Metode penjualan iklan di Detik.com pun kini berbeda. Sejak April 2015 media yang kini masuk dalam grup TransCorp membuat keputusan mengejutkan dengan melepas ketergantungannya dari Google Exchange. Padahal selama ini melalui Google Exchange setiap tahun Detik.com mendapatkan Rp 42 miliar.

“Dulu kita berpikir kita punya inventory banyak daripada menganggur lebih baik dititipkan, tapi kalau mau growth kita tidak bisa seperti itu. Sebab 70 persen inventory kita mempengaruhi 30 persen, kalau porsi direct selling lebih besar akan terasa. Setelah kita copot, akhirnya brand melihat bahwa pasang iklan di Detik tidak bisa lewat Google harus langsung. Dan kita bisa jual lebih mahal 5 kali lipat dari Google,” pungkasnya. *** (nif)